Pendidikan

INDEKS PRESTASI sebagai TOLAK UKUR: Apakah masih Relevan?

Oleh : Qolbi Khoiri, S.Pd.I., M.Pd.I

Hakikat dari tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang memiliki kemampaun intelektual dan kemampuan profesional, kemampuan intelektual diterjemahkan melalui pengayaan materi (conten) sementara kemampuan profesioanl diiringi dengan maksimalisasi keterampilan.
Beranjak dari pemahaman di atas, jika dilhat dari sisem pendidikan Indonesia ternya masih menjadikan indeks prestasi sebagai tolak ukur keberhasilan suatu lembaga pendidikan. Semakin tinggi suatu lembaga pendidikan berhasil memberikan nilai kepada mahasiswanya maka akan semakin naik pamor lembaga atau reputasi perguruan tersebut di tengah-tengah pamor perguruan tinggi lainnya.
Namun yang menjadi persoalan di sini adalah apakah indeks prestasi sebagai tolak ukur itu masih relevan untuk diterapkan pada saat sekarang ini? Pendidikan tidak hanya proses pendewasaan, akan tetapi lebih dari itu pendidikan merupakan transfer of value yaitu proses pemindahan nilai-nilai dari pendidik kepada peserta didik. Sehingga yang diharapkan dari out put suatu lembaga pendidikan tidak hanya sarjana-sarjana yang intelek, namun lebih dari itu yang diharapkan dari lulusan perguruan tinggi adalah sarjana yang memiliki keterampilan dan skill dalam suatu bidang pekerjaan tertentu dalam rangkan menjawab segala tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh sebab itu pendidikan seharusnya berorientasi kepada pembinaan kemampuan dan kecakapan siswa dalam suatu bentuk keterampilan, sehingga akan lebih mudah nantinya dalam menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi di antara para sarjana yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan atau perguruan tinggi.
Sungguh sangat disayangkan, jika suatu perguruan tinggi masih menjadikan indeks prestasi sebagai tolak ukur berhasil atau tidaknya suatu lembaga pendidikan. Karena indeks prestasi dapat dihasilkan melalui jalan yang tidak rasional, dalam artian hanya mengandalkan kemampuan intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Nilai yang tinggi terkadang sering diperoleh melalui usaha yang tidak memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak, bahkan sebagian oknum yang melakukan hal tersebut melakukannya hanya dengan menyelipkan selembar uang puluhan ribu atau ratusan ribu untuk mendapatkan nilai yang diinginkan.
Rendah, memang dipandang oleh mata yang mengandung nilai-nilai kebenaran, cara yang seperti itu ditinjau dari segi etika sangat menyimpang dari norma-norma yang telah ditetapkan oleh adat maupun kebiasaan. Saat ini timbul pertanyaan baru dalam benak kita, apakah tingkat kualitas sarjana itu dapat diukur dengan nilai-nilai tinggi yang diperolehnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat penulis analisa bahwa seorang sarjana tidak perlu memiliki nilai-nilai yang terlalu tinggi dalam bangku perkuliahan apalagi ketika setelah menamatkan studinya di perguruan tinggi tersebut.jika tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya dan keterampilan khusus dirinya. Karena hal tersebut akan menjadi beban mental dengan sendirinya setelah bergabung dengan masyarakat luas ternyata nilai-nilai yang tinggi tersebut tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Masyarakat tidak memandang terhadap nilai yang dihasilkan oleh seorang sarjana yang telah menamatkan suatu lembaga pendidikan, akan tetapi yang diinginkan oleh masyarakat adalah bagaimana seorang sarjana mampu untuk berbaur dengan masyarakat secara luas dan mampu mengaplikasikan segala ilmu yang diperolehnya tersebut untuk kepentingan orang banyak.
Hal yang demikian merupakan tuntutan sosial masyarakat terhadap kalangan intelektual di perguruan tinggi. Namun akan menjadi lebih baik jika, di samping memperoleh nilai dan hasil belajar yang tinggi, juga ditopang oleh keterampilan dan kemampuan khusus yang memadai sehingga mampu untuk menghadapi masyarakat dengan kondisi yang pluralitas dan penuh kemajemukan dengan ekal intelektual yang dimilikinya tersebut.
Bahkan akan menjadi sebuah pameo bagi masyarakat, ketika seorang sarjana yang telah bertahun-tahun menimba ilmu pengetahuan di bangku perkuliahan ternyata tidak memiliki moral yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sementara masyarakat selama ini senantiasa menginginkan dan berharap bahwa seorang sarjana yang telah memiliki ilmu pengetahuan yang lebih banyak dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi seharusnya justru memiliki tingkat moral dan perilaku baik yang lebih tinggi pula. Akan tetapi, apakah semakin tinggi pendidikan seseorang itu maka semakin tinggi pula akhlaknya? Dalam hal ini merupakan objek kajian filsafat ilmu, akan tetapi sedikit penulis akan mencoba menguraikan secara ringkas berkenaan dengan hal tersebut. Dalam kajian aksiologi untuk apa ilmu itu adalah demi kemaslahatan manusia, ilmu tidak diciptakan untuk menghabisi segala nyawa manusia, ilmu diciptakan untuk memudahkan mansuia dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Namun yang terjadi saat sekarang ini adalah, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, dan semakin berilmu seseorang malah ia semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam dan norma kebiasaan yang dianggap tabu oleh masyarakat. Bahkan ia dengan pongahnya membusungkan dada menunjukkan bahwa ia telah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan telah memiliki ilmu pengetahuan lebih dari masyarakat awam di sekitarnya. Akan tetapi jika ditinjau ulang kualitas ilmunya belum tentu mampu untuk dipertahankan dengan sebagaimana mestinya. Artinya keilmuan yang ia miilki belum tentu bermanfaat untuk orang lain. Hanya untuk dirinya sendiri, kalau demikian adanya orang tersebut bukanlah termasuk mereka yang ditinggikan oleh Allah derajatnya, sebagaimana firman Allah: “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”
Dari ayat di atas jelas. Bahwa ilmu yang dimaksud di atas adalah ilmu yang diberikan Allah. Lalu bagaimana Allah akan memberikan ilmu kepada orang yang bersifat sombong yang seharusnya sombong itu adalah pakaian Allah. Ilmu Allah adalah cahaya Allah, dan cahaya Allah ini tidak akan diberikan kepada orang yang bersifat yang dibenci Allah dan melakukan maksiat. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’I: “Ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang senantiasa berbuat maksiat”
Terakhir, penulis mencoba menyimpulkan, uraian singkat di atas bahwa untuk menjadi sebuah tolak ukur berhasil atau tidaknya suatu lembaga pendidikan berdasarkan indeks prestasi dari sudut pandang akademis bisa dikatakan berhasil, akan tetapi jika tidak diimbangi dengan nilai-nilai yang terdapat dalam dirinya untuk bergaul dan bermasyarakat, maka nilai-nilai yang bersifat angka tadinya tidak akan berarti apa-apa ketika seorang sarjana mulai terjun di tengah-tengah masyarakat.

Tinggalkan komentar