Pendidikan

Globalisasi dan masa depan Pendidikan Islam Indonesia

Oleh: Qolbi Khoiri, M.Pd.I (Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Bengkulu)

 Globalisasi (‘aulamah) banyak yang didefenisikan sebagai terbukanya gerbang lintas sektoral dari berbagai aspek hajat hidup manusia diseluruh penjuru dunia, sementara itu Dr.Yusuf Qardhawi (2001:21), mendefinisikan Globalisasi dengan menghilangkan batas kenasionalan dalam bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan segala sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level international sehingga terancamlah nasib suatu bangsa.

Dilain pendapat, Dr. Jalal Amin mengatakan, Istilah ‘aulamah (globalisasi) adalah istilah baru,  dan kita memaknainya dengan penyempitan jarak secara cepat antara masyarakat manusia, baik yang berkaitan dengan perpindahan barang, orang, modal, informasi, pemikiran maupun nilai-nilai. Sehingga tampak globalisasi bagi kita adalah sepertinya mengiringi perkembangan peradaban manusia (lihat, Al-‘Aulamah wa Attanmiyah Al’Arabiyah Min Hamlati Nabuliyon Ila Jaulah Urughuway).

Apapun defenisi yang dikemukakan banyak orang, pada prinsipnya senada dengan sebuah paradigma penjebolan batas antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dengan berbagai aspek. Namun yang terpenting pembrangusan batas yang dimaksud awalnya adalah dalam bidang Ekonomi, namun kemudian berkembang sepesat informasi dunia maya (Cyber Information) keberbagai bidang, diantaranya Sosial Budaya dengan masuknya budaya westernisasi, lantas bermunculanlah berbagai mode mulai dari pakaian, gaya hidup (Life Style) hingga bahasa yang digunakan.

Dikalangan generasi muda misalnya, kita tak heran lagi jika melihat mereka merubah pola hidup dan tingkah laku hingga hobi yang dimunculkan, sarat dengan nuansa western. Hidup dengan gaya dan pola inilah yang saat ini cendrung digandrungi anak-anak muda dengan slogan ‘Gaul’nya, akan terasa tak bermakna hidup yang mereka lalui jika tak mengikuti trend zaman, sehingga cara berbicara, bergaul dan berjalanpun akan mereka warnai dengan sifat dan prilaku zaman. Hal inilah yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Abduh sebagai ‘kekafiran berfikir’, sebab selalu menjadikan zaman sebagai tolak ukur dari sebuah perubahan.

 

 

Sungguh sangat riskan kiranya, bila kita tak asing lagi melihat anak muda (wanita khususnya) mempertontonkan pusarnya dengan pakaian ketat sehingga memunculkan hasrat ingin meraba dari kaum adam. Akhirnya kita akan bertanya dimana lagi letak norma dan sikap hidup ketimuran yang selama ini kita banggakan?.

Penulis ingin mengajak kita semua untuk sama-sama menundukkan kepala seraya mengurut dada dan berdoa melihat mass ectasy yang justru semakin hari semakin meningkat grafik kebodohannya (mungkin lebih halus ketimbang penulis katakan dungu!), entah siapa yang harus kita salahkan kala melihat realitas yang bicara, apakah media massa yang memfasilitasi perkembangannya atau supra struktur yang tidak kokoh, atau mungkin saja kita ‘yang tahu’ justru melegalkannya dengan tidak ‘mau tau?’ apalagi sampai menutup mata? Mungkin saja dosa dari ‘jargon’ Globalisasi yang kita gembor-gemborkan!, Sebenarnya bagi Islam Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan, seperti yang diungkapkan Allah, Swt, dalam firman-Nya bahwa Islam merupakan Rahamtan lil’alamin, sifat dan kecendrungan ini juga mendukung keuniversalan risalah Islam merupakan dan urgensi akidah dalam Islam.

Menurut penulis hal yang paling mendasar dari perubahan dan pengejewantahan dari tanggung jawab ini adalah Pendidikan, sebab melalui institusi inilah prilaku anak zaman akan tecermin, jika pendidikan baik, maka akan menghasilkan generasi yang bertanggung jawab dengan Ilmunya, namun jika tidak maka prilaku anak zaman yang kebablasan yang akan kita temukan. Bukan bermaksud mengkambing hitamkan pendidikan, melainkan penulis mencoba untuk jujur terhadap tanggung jawab realitas. Entah dimana anak zaman meletakkan budaya ketimuran (kalau  bukan Ke-Islaman), secara sadar kita akan akui, bahawa pendidikan formal kita di Indonesia yang tidak mengakomodir perubahan ini, bukan sekedar justifikasi untuk menghilangkan tanggung jawab tentunya. Sudah  banyak para pakar Pendidikan memaknai Pendidikan dari segi terminologi, pada prinsipnya sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan usaha yang sadar, terarah, sistematis dan dengan metode tertentu serta kurikulum yang tersusun. Namun realitasnya, institusi pendidikan belum melakukan upaya yang maksimal dalam rangka memanusiakan manusia, jika kita lihat dari segi sistim kiranya kita harus akui bahwa profesi kependidikanlah yang menjadi faktor mendasar, sebab kita sudah seringkali mengunakan adigum ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Jika kita melakukan flash back terhadap sejarah bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia ini, ada satu fenomena yang sama di antara mereka, yaitu sangat baik dan kuatnya pembangunan sektor pendidikan mereka. Dengan pendidikan yang baik, mereka mampu menyediakan tenaga kerja yang terampil dan profesional, pengusaha yang memiliki jiwa entrepreneur, bukan pengusaha yang hanya mampu bertindak sebagai pedagang dan makelar yang hanya suka cari keuntungan abnormal (supernormalprofit) dalam jangka pendek. Dengan pendidikan yang baik, mereka akhirnya juga mampu mempersiapkan generasi yang bijak, andal, bisa bicara, dan juga bisa bekerja untuk kejayaan bangsanya: tidak sekadar bicara, tetapi tidak ada kinerja yang bermanfaat bagi kemakmuran bangsa dan rakyatnya, atau bahkan bicara saja tidak bisa apa lagi berkinerja demi kemakmuran, harga diri, dan martabat bangsanya.

   Bagaimana dengan sistem dan praksis pendidikan bangsa kita? Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, bangsa ini sebenarnya telah berhasil merumuskan niat dan tekad baik untuk mendidik dirinya sendiri. Niat dan tekad itu dengan jelas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan menggunakan tiga kata kunci: “… mencerdaskan kehidupan bangsa”.

   Meskipun demikian, ternyata niat itu belum pernah didukung dan ditopang oleh political will yang kuat dari berbagai orde pemerintahan yang pernah ada. Sejak merdeka sampai sekarang, pendidikan tidak pernah menjadi panglima bagi pembangunan nasional. Akibatnya, sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak memiliki keunggulan kompetitif. Bahkan, untuk saat ini kualitas pendidikan kita berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia dan urutan ke 100 di dunia. Kita ternyata sudah kalah dari Vietnam, yang pada empat tahun yang lalu bangsa ini masih ada yang mengungsi ke Pulau Galang di Batam. Terlebih-lebih jika dibandingkan dengan Korea Selatan, kita berada pada urutan ke-12 di bawahnya, walaupun negara itu pada tahun 1953 masih terlibat perang saudara yang amat memilukan. Negara ini begitu selesai perang saudara segera bangkit membenahi diri dengan mengangkat sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam membangun bangsanya. Begitu pula dengan Jepang, setelah bangsa ini hancur,menderita kekalahan dalam Perang Dunia II, ia bangkit melalui sektor pendidikan. Pendidikan dibangun dengan besar-besaran melalui kesadaran budaya secara sistematis. Bahkan, Kaisar Jepang pada waktu itu bertanya kepada para pejabat penting yang menentukan arah pembangunan Jepang pada era pasca kekalahan Perang Dunia II, yang secara metaporik mencerminkan betapa tingginya komitmen Jepang pada pembangunan pendidikan. Apa gerangan pertanyaan sang kaisar setelah menderita kehancuran pasca-Perang Dunia II? Pertanyaan itu sangat populer, yaitu berapa guru yang masih tersisa hidup, bukan berapa tank dan tentara yang masih tersisa. Ini semua menunjukkan betapa besarnya komitmen bangsa Jepang terhadap kebangkitan bangsanya yang didesain melalui pembangunan sektor pendidikan.

   Kita perlu merefleksi fenomena tersebut agar bangsa ini ke depan memiliki keunggulan kompetitif yang bisa diandalkan. Salah satu penyebab mengapa bangsa Indonesia tidak mampu segera keluar dari krisis ekonomi, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga mengalami krisis ekonomi pada kurun waktu yang sama seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Filipina, juga disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang dimiliki. Oleh sebab itu, untuk ke depan, bangsa ini harus benar-benar memberikan prioritas yang tinggi pada investasi di sektor pendidikan.

   Masa depan bangsa Masa depan bangsa ini tidak akan cerah jika tidak diperbaiki melalui perbaikan dan pembangunan sektor pendidikan secara besar-besaran. Untuk menuju ke arah itu sudah ada keputusan politik penting yang telah menetapkan anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan besarnya anggaran itu, ada harapan pendidikan bisa dibangun untuk pemberdayaan masyarakat secara  keseluruhan.

Ke depan, dalam kurun waktu lima tahun ini, pendidikan memerlukan investasi yang amat besar, terutama untuk membangun kembali puluhan ribu gedung sekolah yang tidak layak untuk proses belajar-mengajar, mengentaskan kemiskinan sehingga terbuka peluang untuk akses pada pendidikan bagi kelompok miskin yang jumlahnya terus meningkat dari hari ke hari, menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun, meningkatkan profesionalisme guru, penyediaan buku ajar, alat-alat laboratorium, komputer, dan sebagainya.  Dalam konteks global, pendidikan kita ke depan harus mampu menanamkan nilai-nilai entrepreneurship, trust, kreativitas, toleransi, empati, dan budaya dialog. Aspek itu penting untuk dikuasai semua siswa karena di era global kita harus mampu berperan aktif dan pro-aktif dalam model hidup yang mengandalkan networking dalam sistem ekonomi yang memiliki ciri-ciri: conectivity, speed, dan intangible.

   Konsekuensinya, pendidikan harus mampu memberdayakan peserta didik agar memiliki kemampuan berkomunikasi secara global dalam sistem networking.  Oleh karena itu, para siswa kita ke depan harus mampu menguasai teknologi informasi dan bahasa asing, di samping kemampuan intelektual dasar yang harus mereka miliki. Dengan kemampuan itu, baru kita bisa berharap bangsa ini memiliki unggulan kompetitif di tengah-tengah kehidupan pasar global. 

 

Pendidikan Islam di Indonesia

Prinsip dan tujuan pendidikan hakikatnya tidak lagi ada dichotomi, namun melihat aplikasi lapangan dari para pekerja pendidikan, penulis melihat masih terjadi dichotomi yang tajam antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam, walaupun pada hakikatnya pendidikan merupakan pengejewantahan dari nilai-nilai rububiyah untuk menjadikan manusia sebagi pengelola, pemelihara dan penguasa alam. Khususnya di sekolah-sekolah Umum seperti SD hingga SMU dan bahkan Universitas-Uiversitas Umum baik yang negeri maupun Swasta.

Keterpisahan sistim pendidikan dan penanggung jawab pendidikan merupakan faktor yang mendasar dalam implementasinya, apakah berupa kurikulum, metode, materi ajar dan bahkan tenaga pengajar sendiri. Bagi  Islam, sebenarnya sudah ada rambu-rambu yang menjiwai ruh dari pendidikan, Al-Qur’an sebagai alat untuk menerjemahkan kebutuhan tersebut belum diberdayakan secara maksimal, sehingga banyak kalangan mengatakan bahwa Islam memiliki sejuta konsep yang masih mengambang. Menurut  penulis kegamangan ini disebabkan tidak adanya play maker yang mau berbuat, bisa saja hal tersebut terjadi disebabkan oleh prilaku elit yang cendrung mendichotomi secara tak langsung dibawah alam sadar mereka, apakah seorang politisi ataupun praktisi pendidikan.

Apapun yang terjadi itu adalah bahagian masa lalu, persoalannya kemudian, apakah wajah pendidikan Islam di Indonesia akan tetap kelabu seperti sekarang atau justru sebaliknya?, karena itu menurut penulis ada beberapa hal yang musti dilakukan berkaitan dengan membangun kembali paradigma pendidikan Islam di Indonesia dari sisi kultural, pertama, menata ulang kompetensi guru materi ajar tentang hakikat Ilmu bahkan jika itu memungkinkan, setiap guru harus memiliki pengetahuan tentang filsafat Ilmu dan hakikat Ilmu, kedua, jika menyusun kurikulum merupakan hal yang sulit dan butuh gizi yang banyak, maka langkah yang paling urgen adalah usaha guru memaknai materi ajar sebagai pengejawantahan dakwah Islamiyah, ketiga, kesamaan persepsi bagi guru materi ajar disetiap bidang studi bahwa materi yang disampaikan bukan sekedar pengembangan ranah kognitif dan psikomotorik un sich, melainkan ranah affektif yang dominan, keempat, apapun pemahaman guru tentang metode, sebenarnya yang terpenting adalah approuch dalam menyajikan materi ajar yang terpenting, sebab 50 % approuch adalah kesuksesan guru dalam melakukan tugas pendidik, keenam, menanamkan sikap dan persepsi bahwa guru adalah mitra bagi murid bukan justru arogansi guru yang dominan bahwa dia segalanya, artinya, guru berfungsi sebagai penyedia sarana komunikasi dan konselor dalam melakukan proses pendidikan, bukan hanya dilingkungan sekolah, karena hakikat dari lingkungan pendidikan adalah seluruh rentang perjalanan hidup siswa dalam menjalankan prosesi kehidupan, baik dirumah, disekolah maupun dimasyarakat. Dari aspek struktural, mungkin dalam hal ini elit-elit politik akan lebih dominan dengan perangkatnya.Wallahu a’lam bisshawab

6 tanggapan untuk “Globalisasi dan masa depan Pendidikan Islam Indonesia”

  1. akhhh…. teoriiiii…lihat realitasnya dongk!!!!!!lha.. sekarang apa yang sudah anda lakukan untuk kemajuan bangsa ini ?????

    #sekecil apapun peran seseorang tentu sudah berbuat utk bangsa, minimal mengedepankan gagasan, well…mari sama-sama berbuat yang terbaik sesuai dengan kapasitas kita masing-masing…

Tinggalkan Balasan ke Qolbi Khoiri Batalkan balasan